DEATH IS THE ONLY ENDING FOR THE VILLAIN TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA CHAPTER 8

 CHAPTER 8

Death Is The Only Ending For The Villain - Novel Updates

Aku buru-buru menaiki anak tangga dan bersegera ke kamar. Aku membanting pintu dengan keras dan langsung merebahkan tubuhku di atas kasur.

"Whew..."

Tubuhku yang sedari terasa sangat kaku sekarang terasa sangat rileks begitu menyentuh kasur yang sangat lembut dan empuk ini.

Padahal saat itu baru waktu makan siang, tapi rasanya bagaikan berhari-hari.

Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diriku yang tegang karena pertemuan dengan Derrick tadi.

Tak beberapa lama, aku tertawa sendiri.

"Hah. Lihat kan. Aku masih hidup."

Tidak sia-sia aku berkali-kali mengulang gim ini.

Buktinya aku mampu memanggil Derrick "Tuan Muda" meskipun saat itu aku sangat panik.

Tiba-tiba gambaran tentang gim ini muncul dalam kepalaku.

Saat pertama kali mencoba mode sulit, tingkat ketertarikan Derrick merupakan salah satu kendala utama yang aku hadapi.

Aku mencoba menaikkan tingkat ketertarikannya secara perlahan dengan berhati-hati membuat pilihan, tapi ketika aku membuat satu kesalahan kecil tingkat ketertarikannya langsung turun derastis.

Aku benar-benar tidak tahu kenapa bisa begitu.

'Kenapa suasana hatinya cepat sekali berubah-ubah di dalam gim?'

Pertanyaanku itu baru terjawab setelah berkali-kali mati.

Derrick sangat mebenci Penelope sampai-sampai dia akan merasa ketakutan saat Penelope memanggilnya "kakak".

Dan karena itulah tiap kali aku memilih pilihan yang ada kata "kakak"nya, tingkat ketertarikan Derrick akan langsung turun.

"Dasar tukang pilih-pilih. Dia jauh lebih para dibanding dua orang bajingan itu."

Aku terus menggerutu.

Akan tetapi, karena itu jugalah aku masih bisa hidup sampai sekarang.

'Mulai sekarang aku tidak akan memanggilnya kakak lagi.'

Aku berkali-kali mengulang kalimat itu dalam benakku.

Tentu saja aku akan berusaha sebisa mungkin agar jangan sampai bertemu dengannya lagi, tapi aku harus tetap jaga-jaga.

Lelah karena memikirkan hal ini, aku mulai merasa mengantuk.

Aku juga perlu mengisi perut dulu.

Aku tidak akan bisa berpikir dengan jernih kalau tidak makan. Dan kebetulan sekarang sudah tiba waktunya makan siang.

Tapi karena berbagai kejadian mengejutkan hari ini, aku sebenarnya tidak merasa terlalu lapar.

'Ah, sudahlah.'

Merasa malas, aku pun mulai memejamkan mataku. Satu-satunya yang ada dipikiranku saat ini adalah tidur.

Mungkin karena aku mau kabur dari semua kenyataan ini.

Tak berselang lama setelahnya, aku pun tertidur.

***

"Kenapa ini bisa ada di kamarmu?"

Aku mendengar suara yang sedingin salju di pertengahan musim dingin. Lalu tak lama setelahnya ada suara teriakan.

"Cepat jawab, jalang! Kamu mencurinya, kan!?"

"Reynold."

Duke memperingkat Reynold yang mengeluarkan sumpah serapah.

Sepertinya dia tidak bisa menahan amarahnya dan mulai mengamuk.

"Ini apa?"

Aku yang masih setengah sadar mencoba melihat keadaan dengan sedikit menundukkan kepalaku.

Sepasang tangan kecil.

Ini pasti mimpinya Penelope.

"Bicaralah Penelope. Bagaimana bisa kalung gong-nyuh ini ada di kamarmu? Bukannya kamu sudah kularang masuk ke ruangan itu?"

[Gong-nyuh: Ini adalah bahasa korea yang berarti gadis bangsawan dari keluarga Duke. Artinya sama seperti Lady, tetapi gong-nyuh merupakan bentuk informal sedangkan lady adalah bentuk formal. Selain itu kata Lady juga bisa digunakan untuk gadis bangsawan dari semua status.]

"Ayah. Kan sudah kubilang, pasti si jalang ini pencurinya."

Meski sudah diperingati, Reynold tak hentinya mengeluarkan kata-kata kasar.

Penelope menatap dengan benci ke arah Reynold lalu berteriak.

"Aku tidak mencurinya! Aku tidak salah!"

"Diam! Jangan berbohong! Lalu kenapa hadiah yang ayah berikan pada Yvonne bisa ada di laci mejamu?"

Reynold berteriak sambil memegangi kalung yang teruntai di tangannya.

Baru kali ini Penelope melihat kalung itu. Tanpa ragu Penelope tetap berteriak sembari tetap teguh menolak tuduhan yang diarahkan padanya.

"Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak pernah masuk ke kamar itu!"

"Saya sudah melihat semuanya!"

Lalu tiba-tiba, seseorang keluar dari kerumunan orang yang sedang menyaksikan pertengkaran ini.

"Butler."

"Beberap minggu belakangan saya sering melihat Lady Penelope mondar mandir ke lantai 3. Lalu saya memeriksa lantai untuk berjaga-jaga, tapi setelah saya periksa ternyata pintu kamar Lady Yvonne terbuka."

Semua orang termasuk juga Duke sekarang menatap ke arah Penelope.

Penelope tidak bisa mengabaikan semua tatapan yang diarahkan padanya ini.

"....Bukan..aku."

Penelope perlahan mundur.

Memang benar kalau dia sering mondar mandi ke lantai 3.

Di lantai 3 tak banyak orang yang berseliweran, dan di lantai 3 juga terdapat jalan yang terhubung dengan loteng.

Penelope sering ke lantai 3 karena ingin menghindari pelayan yang selalu menyiksanya dan bukan karena ingin mencuri.

Terlebih sampai mencuri barang kepunyaan putri kandung si Duke.

"Aku benar-benar tidak melakukannya ayah! Sekalipun aku tidak pernah masuk ke kamar itu!"

Penelope menatap Duke sambil berteriak.

Penelope melihatnya dengan menuh rasa percaya dan kasih sayang. Karena si Duke sendirilah yang membawa Penelope ke rumah ini.

Akan tetapi, Duke hanya membalasnya dengan tatapan yang dingin.

"Hei butler. Kunci semua ruangan di lantai 3. Terutama kamar Yvonne jangan sampai lupa"

"Siap, Tuan Besar."

" Juga, besok bawa tukang perhiasan kemari."

"A-Ayah..."

Penelope hanya diam terpaku, mukanya jadi pucat seputih tulang.

Si Duke pun pergi tanpa berkata apa-apa.

"Kamu harusnya pergi saja dari mansion ini saat kami memperingatkanmu, dasar idiot."

Reynold membisikkan kalimat itu di telinga Penelope begitu Duke pergi.

Lalu dia mendorong Penelope dengan keras dan pergi mengikuti Duke.

"Sampah."

Gumam Derrick dengan dinginnya sambil menyaksikan Penelope yang terjatuh di lantai bagaikan seonggok sampah.

Adegannya pun berganti.

Setelahnya, Penelope mengunjungi berbagai toko perhiasan dan membeli banyak aksesoris serta perhiasan.

Saking banyak uang yang dihabiskannya, Derrick dan Reynold selalu bilang "Dasar jalang tidak tahu diri" padanya.

Dan sejak saat itu, dia tidak pernah lagi memanggil Duke dengan panggilan ayah.

...Tok tok.

Suara kecil itu cukup untuk membangunkanku dari tidurku. Aku mencoba membukan mata meski masih mengantuk.

Tok tok tok.

Terdengar suara ketokan lagi dari pintu.

Ketokannya nampak semakin keras dan cepat seolah-olah orang dibalik pintu itu sedang marah dan tidak sabaran.

Aku perlahan mulai bangun dan mulai membuka mulutku.

"Siapa..."

Click-. Belum sempat selesai bicara, pintu kamarku terbuka dengan keras.

"Lady. Ini saya."

Dari balik pintu kamar yang terbuka terpancar cahaya terang yang menyilaukan.

Saat itu kamarku dalam kondisi gelap, yang berarti sekarang hari sudah malam.

Mataku jadi silau karaena cahaya yang tiba-tiba muncul dan karenanya aku menunduk sembari menyipitkan mataku untuk melihat siapa yang ada di balik pintu.

"Butler...?"

"Saya kemari karena ada hal mendesak yang harus saya sampaikan."

Jarang-jarang si butler ini mencariku dengan buru-buru seperti ini.

Lalu tiba-tiba dadaku terasa sesak karena mengingat mimpi yang baru saja aku alami.

"Hal mendesak apa?"

Apa si dua bajingan itu mau menyalahkanku lagi? Kali ini dia mau menuduh apa lagi?

Suaraku bergetar saat aku bertanya pada si butler. Si butler pun lalu menjelaskan kenapa dia tergesa-gesa masuk ke kamarku.

"Saya rasa alangkah lebih baiknya Lady segera memilih pelayan pribadi baru sebelum waktu makan malam tiba, jadi..."

Pikiranku jadi kosong mendengar kata-kata yang keluar dengan santainya dari mulut si butler ini.

"Sebentar."

Aku mengangkat tanganku dan menyuruhnya menghentikan perkataannya.

Si butler pun terdiam. Tapi sepertinya dia merasa tidak senang dengan apa yang barusan kulakukan karena alisnya nampak berkerut.

'Itu saja?'

Aku merasa lega setelah mendengar perkataan si butler.

Namun tak lama setelahnya, rasa lega itu berganti menjadi amarah.

'Dia membuka pintu dengan keras dan terburu-buru seperti itu hanya karena aku harus memilih pelayan baru...?'

Aku hanya tercengang mengetahui alasan si butler ini.

"...Butler."

Aku memanggilnya dengan nada pelan dan dalam.

"Ya, Lady."

"Siapa namamu?"

"...Bagaimana, Lady?"

Dia seolah-olah tidak percaya mendengar pertanyaanku. Akupun sekali lagi bertanya padanya.

"Siapa namamu?"

"....Nama saya Pennel, Lady."

"Oh jadi namamu Pennel?"

"Lady. Kenapa anda tiba-tiba bertanya seperti itu...?"

Dia nampak tidak suka karena aku tiba-tiba bertanya tentang hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan topik yang sedang kami bahas sebelumnya. Alisnya jadi semakin berkerut.

"Jawab saja pertanyaanku" 

"Lalu siapa namaku?"

"...Nama anda Penelope Eckart, Lady."

Dia terlihat terpaksa menjawab pertanyaan yang aku ajukan.

"Benar sekali. Aku Penelope Eckart, seorang bangsawan."

Aku menganggunk dan agak menekan suara saat menyebutkan namaku. Lalu aku lanjut berbicara.

"Aku tidak tahu kalau ada tata krama yang mengizinkan seseorang yang bahkan tak memiliki nama keluarga bisa masuk seenaknya tanpa permisi ke kamar seorang bangsawan. Atau mungkin aku salah?"

Dasar Penelope bodoh.

Kalau dia merasa marah karena diacuhkan dan dibenci oleh penghuni mansion ini, seharusnya dia tidak perlu membuat keributan, harusnya dia manfaatkan saja posisinya sebagai seorang bangsawan agar mereka jadi sadar diri.

Dengan begitu mereka tidak akan memperlakukannya dengan semena-mena lagi.

'Diadopsi secara resmi oleh keluarga Duke. Dan terlebih lagi menjadi seorang 'gong-nyuh'.

Gelarnya ini cocok sekali digunakan untuk situasi seperti ini.

Jauh lebih baik dibanding seperti bajingan dari keluarga kaya.

"Terlebih lagi seorang pria masuk dengan seenakanya ke kamar seorang gadis bangsawan, perilaku yang mencerimin rakyat jelata sekali, ya."

"..."

"Apakah yang kukatakan benar?"

Aku tersenyum dengan polosnya begitu menyelesaikan perkataanku.

Dan tentu saja sesuai perkiraanku, dampak yang ditimbulkan sangat luar biasa.

"L-Lady!"

Si butler berteriak dengan panik mendengar perkataanku.

Penerjemah: Liustar Brown


Posting Komentar

0 Komentar