CHAPTER 1
Chapter 1 Alasan untuk Bertarung
Sepuluh tahun telah berlalu sejak aku mendapatkan ingatanku kembali.
Saat gim otome ini, yang memiliki berbagai setting aneh dan tidak konsisten, tiba-tiba berubah menjadi kenyataan, amarahku memuncak dan aku semakin membenci dunia ini hari demi harinya.
Yah mau bagaimana lagi, siapa coba yang tidak marah?
Meskipun ini adalah dunia lain, sebuah dunia gim, aku masih harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku.
Meski aku seorang bangsawan, aku hanyalah bangsawan miskin yang tinggal di pedesaan. Aku biasanya bekerja di ladang, jadi aku masih bisa sedikit-sedikit membantu ekonomi keluargaku.
Aku melatih tubuhku dengan bekerja di ladang, yang membuat raut wajahku nampak lebih keras dibandingkan ketika aku dulu hidup di Jepang.
Aku sekarang berumur lima belas tahun dan memiliki mata dengan iris berwarna hitam.
Wajahku sebenarnya tidak terhitung tampan, tapi juga tidak bisa dianggap jelek.
Namun, dunia ini bukanlah dunia biasa, melainkan dunia gim otome.
Banyak pria yang memiliki wajah rupawan di dunia ini.
Dan aku hanyalah seperti kebanyakan orang di dunia ini, seorang mob.
(TLN: mob bisa dibilang sebagai karakter sampingan yang tidak memiliki peran begitu penting dalam berjalanannya plot cerita)
Kakakku, yang kebetulan berhubungan cukup baik denganku, saat ini sedang bersekolah di akademi kerajaan yang ada di dataran utama. Disana dia tinggal di sebuah asrama.
Kamar sempit yang dulunya aku tempati bersama kakakku, sekarang kutinggali bersama dengan adik laki-lakiku yang enam tahun lebih muda⎼⎼⎼"Colin", si putra keempat.
Aku sedang membaca surat yang dikirim oleh kakakku.
Dalam suranya dia menulis, "Menemukan pasangan untuk diajak menikah ternyata susah."
Di dunia gim otome ini...seorang pria yang tidak bisa menemukan pasangan sampai dengan lulus akademi akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang, dan pria yang tidak bisa mendapatkan pasangan sampai usia dua puluh tahun akan dianggap "barang cacat".
Ini kondisi yang cukup sulit untuk seorang anak bangsawan. Untuk rakyat jelata mungkin akan baik-baik saja, tapi anak bangsawan yang tidak bisa mendapatkan pasangan sampai dengan usia dua puluh tahun akan dipandang sebelah mata.
Dunia ini keras untuk para pria.
Aku cuma bisa berharap agar kakakku bisa segera menemukan pasangannya.
Dan lebih parahnya lagi, seorang pria yang belum menikah akan sulit untuk mencari pekerjaan atau meski sudah mendapat pekerjaan akan cendrung kesulitan untuk bisa berhasil dalam pekerjannya dibanding yang sudah menikah.
Banyak dari para pria yang tidak bisa menemukan pasangannya diusir dari keluarganya, meski mereka adalah anak kedua atau ketiga. Saat putra tertua tidak bisa mewarisi keluarga, akan ada yang menggantikan posisinya, dan si putra tertua tidak perlu lagi memiliki keturunan yang akan menjadi penerus selanjutnya.
Jika sudah begitu, pekerjaannya kemudian akan dipilihkan.
Sebagian besar bekerja sebagai tentara atau pegawai pemerintahan. Dan selain itu ada beberapa yang menjadi dokter dan sejenisnya. Bagaimanapun juga, baiknya memang mengincar pekerjaan yang sama-sama menguntungkan baik rakyat maupun negara. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang lain akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang.
Lalu, para pria yang tidak bisa menemukan pasangannya akan diperlakukan sebagai kacung baik di ketentaraan maupun di pemerintahan. Tidak ada harapan untuk meraih karir yang tinggi, dan mereka juga tidak akan dipercayakan tugas-tugas yang penting.
Dan akhirnya, reputasi mereka akan menjadi buruk.
Ini adalah dunia dimana pernikahan adalah suatu yang sangat penting bagi seorang pria.
"Intinya, ini adalah dunia yang sangat keras."
Perang, pertempuran, perompak udara, monster...ada banyak permasalahan di dunia ini, yang mana mengakibatkan tingkat kematian dari ksatria dan tentara menjadi tinggi. Ada banyak anak lain di keluargaku, tapi alasan kenapa keluargaku memiliki banyak anak adalah karena tidak akan ada banyak dari mereka yang bisa hidup sampai dewasa.
Sudah tugas seorang pria untuk pergi bertarung. Lebih parahnya lagi, sosok sentral dari sebuah keluarga tidak akan berganti begitu saja, jadi karena itulah aku pun harus bekerja. Meski begitu, para wanitlah yang memegang semua kekuasaan.
Meski para pria mempertaruhkan nyawanya di medan pertempuran tetapi perlakukan yang mereka terima sangatlah buruk.
"Dunia ini terlalu pilih kasih pada wanita."
Aku merasa semua keanehan di dunia ini gara-gara setting aneh dari gim otome itu.
Tempat ini cukup mewah untuk seorang wanita. Bahkan lebih mewah lagi untuk wanita dari keluarga baron dan di atasnya.
"Apa mungkin karena semua target penaklukannya adalah para pria dari keluarga kaya dan bermartabat?"
Rasanya aku ingin menangis mengingat ini semua mungkin terjadi karena gim otome sialan itu.
Kenapa aku harus bereinkarnasi ke dunia ini? Tidak seharipun pemikiran itu luput dari kepalaku. Eh tidak, tidak setiap hari sih. Ada beberapa hari yang tidak, lagipula setiap harinya aku sibuk dengan pekerjaanku, jadi wajar aku lupa.
Sudah sepuluh tahun sejak aku mendapatkan kembali ingatanku dari kehidupanku sebelumnya...dan aku sudah terbiasa dengannya.
Di dalam kamar, Colin sedang tertidur nyenyak di atas kasur.
Wajah polosnya terlihat sedang menikmati waktu tidurnya itu.
Terus terang saja, orang-orang seperti aku dan Colin yang mana bukan merupakan seorang penerus hanya dianggap sebagai cadangan.
Dan meski nanti kami masuk ke akademi , kami hanya akan menjadi mob saja.
Seperti karakter-karakter mob lain yang hanya berperan mendukung para karakter utama agar jadi lebih menonjol.
Paling-paling, kami hanya akan menyampakan satu-dua kalimat di dalam gim.
Mob A, Mob B, itulah peran kami.
Aku bahkan tidak pernah mendengar nama keluarga Baltfault di dalam gim sebelumnya.
"Seorang mob...itulah aku."
Aku tidak mau mengakuinya, tapi aku adalah orang yang cendrung berpikir realistis. Terlebih lagi, aku bukanlah orang yang memiliki ambisi untuk mencapai sesuatu yang besar. Kalau memang aku seorang mob, ya biarlah seperti itu.
Oh iya, aku akan masuk ke akademi tahun depan.
Salah satu keuntungan menjadi bangsawan di dunia ini adalah bisa mengenyam pendidikan di akademi.
Aku merasa sedikit aneh saat berpikir ini semua terjadi semata-mata karena setting di dalam gim itu, tapi aku sudah cukup puas bisa menjadi seorang tentara atau pegawai pemerintahan.
Ini adalah kesempatan berharga untuk bisa pergi dari rumahku.
Selain itu juga, sembari belajar di akademi aku bisa sekalian mencari pasangan.
Kalau aku tidak pergi dari sini, yang akan menantiku hanyalah pernikahan paksa yang menyebalkan.
Yah akan lebih baik jika setidaknya aku mendapatkan pasangan yang seumuran denganku, atau jika tidak yang berusia dua puluhan lah, tapi kalau sampai harus menjadi suami bekas dan menikahi wanita tua, ogah deh.
"Kalau dipikirkan lagi, aku merasa sangat bersyukur bisa masuk akademi."
Melihat adikku Colin tertidur dengan pulasnya, membuatku merasa sedikit lega.
⧫
"..Wa-wawancara pernikahan? Apa maksudmu?"
Saat itu aku baru selesai sarapan.
Aku merasa sedikit was-was saat dipanggi oleh ayahku ke kantornya──atau mungkin lebih tepat kamar kerjanya. (Maksudnya disini, ruang kerja ayahnya juga digunakan sebagai kamar tidur).
Alasan kenapa istri ayah, "Zola Fia Baultfault" sedang duduk manis di sofa saat ini adalah untuk membicarakan tentang wawancara pernikahanku.
Ayahku, yang duduk di kursi yang memang sudah biasa ia tempati, menunjukkan raut wajah yang tidak enak.
Saat aku menerima berkas tentang latar belakang calon pasanganku yang disana juga terdapat foto dan berbagai hal lainnya, aku hanya bisa tertegun.
Ayah juga menunjukkan raut wajah yang cemas, tapi setelah melihat mukanya Zola, ayah menatap ke arahku lagi.
"Zola kebetulan membawa lamaran pernikahan. Sepertinya salah satu kenalannya sedang mencari suami-bekas."
Zola terlihat sedang mengeluh sembari meminum teh mahal didepannya kemudian berkata, "Benda murahan memang tidak cocok untuk lidahku ini."
Aku pun mulai menunjukkan ketidaksetujuanku atas lamaran pernikahan ini.
"Tidak, tidak bisa seperti ini."
Aku pun tidak setuju, siapa juga yang mau menikah dengan pasangan seperti ini.
Calon pasanganku ini nampaknya seorang putri dari keluarga baron──tapi di berkasnya tertulis kalau dia sudah berumur lima puluhan, dan dia juga sudah menikah sebanyak tujuh kali.
Telebih lagi dia sudah punya anak, dan kesemua anaknya jauh lebih tua dariku.
Zola melatakkan cangkirnya dengan sedikit kasar lalu melihat ke arahku.
Aku tahu dia pasti merasa kesal.
"Harusnya kamu berterima kasih padaku. Dia ini seorang putri dari keluarga bangsawan yang memiliki kedudukan di kalangan istana, dan terlebih lagi keluarganya sudah melayani keluarga kerajaan sejak lama. Apa lagi yang kurang?"
Yang kurang? Dilihat dari manapun ini mah kurang banyak. Eh sebentar, mungkin si Zola ini memang tidak punya otak. Lagipula mana ada orang yang berumur lima puluh tahun dan masih memanggil dirinya "putri".
"Kenapa tiba-tiba ada pembicaraan tentang pernikahan, padahal aku masuk akademi saja kan belum?"
Sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwasanya seorang bangsawan biasanya akan menikah selepas lulus dari akademi. Aku rasa itu juga karena setting gimnya, tapi sekarang di dunia ini, hal itu sudah menjadi suatu aturan.
Ini mungkin disebabkan karena hanya separuh dari para bangsawan yang bisa lulus dari akademi.
Tapi pengecualian untuk pernikahan politik. Dan mungkin pernikahan-pernikahan lain dengan alasan tertentu.
Namun, sebagian besar dari kasus-kasus khusus tersebut tidak langsung menikah dan bertunangan terlebih dahulu.
Dan pembicaraan tentang pernikahan pun harusnya begitu.
Calon pasanganku ini dikatakan seorang putri dari keluarga baron, tapi dia tidak punya satupun warisan. Lebih tepatnya, dia sebenarnya hanyalah keponakan dari kepala keluarga utama, jadi dia hanya kebetulan satu darah dengan sang baron.
Terlebih lagi, pernikahannya ini akan menjadi pernikahannya yang kedelapan...dan tentu saja pernikahan yang direncanakan oleh istri ayah ini hanya berarti satu hal...aku sedang dalam bahaya.
Zola terlihat sangat marah, dan dia juga mulai meninggikan suaranya.
"Aku masih mentolerir putra kedua untuk bisa masuk akademi. Tapi, untuk putra ketiga masuk ke akademi itu percuma saja. Meski tidak ada biaya pendaftarannya, masih ada hal-hal lainnya yang akan memerlukan biaya."
Aku memandang tajam ke arah Zola saat ayah minta maaf kepadaku.
"Maafkan ayah karena kamu harus mengalami ini, Leon. Tapi kenyataannya memang seperti itu, keluarga kita tidak memiliki banyak uang. Masih ada banyak cara lain untuk menghasilkan uang meski kamu tidak bisa masuk ke akademi."
Ayah terus-terusan memandang ke arah Zola. Tidak peduli apa yang mereka akan katakan, aku tetap tidak akan setuju.
Zona membaringkan punggungnya ke sofa.
"Meski nanti kamu bisa lulus dari akademi, kamu tidak akan bisa mendapat pekerjaan. Ini sudah pilihan yang paling tepat untuk menikah, toh ini demi keluargamu juga. Kamu harusnya bersyukur tidak perlu pusing-pusing untuk mencari pasangan. Aku juga sudah mengurus agar kamu bisa bekerja sebagai tentara. Jadi setidaknya bersemangatlah."
Saat itulah aku sadar.
...Wanita ini memang sudah merancanakan dari awal agar aku mati di medan pertempuran.
Seorang bangsawan yang menjadi tentara, yang mengorbakan nyawanya demi negara di medan pertempuran akan mendapatkan uang kompensasi dari negara. Dan yang akan mendapatkan uang ini nantinya adalah keluarga si tentara
Para tentara biasanya akan dibayar secara massal, tapi untuk bangsawan kasusnya akan sedikit berbeda.
Mereka akan diberik tanda kehormatan karena telah berperang demi negara, dan lebih parahnya lagi mereka hanya akan mendapat bayaran sekali setahun.
Aku sudah bisa menebak kalau yang sebenarnya diinginkan Zola dari pernikahanku ini adalah uang kompensasi dan reputasi dari peperangan itu sendiri. Di berkas calon pasanganku ini, semua mantan suaminya tertulis "meninggal dengan hormat dalam perang"
Dan bukannya menyembunyikan fakta itu, malah terlihat seperti ingin dipamer-pamerkan.
"Aku tetap menolak."
Zola memukul meja di depannya dengan keras dan seketika berdiri.
"Diam! Ini sudah yang terbaik untukmu sebagai putra ketiga! Kalau kamu memang seorang pria, bekerjalah demi keluargamu!"
Si Zola jalang ini...tinggal dan menetap di "ibu kota kerajaan.
Tidak seperti tuan feudal bangsawan biasa, keluarganya berasal dari bangsawan yang memiliki kedudukan di istana yang mana mendapat mandat langsung dari raja.
Karena dia tidak mau meninggalkan ibu kota, ayah harus susah-susah mengurusi kediamannya disana dan tiap bulan tetap mengirimnya biaya untuk kebutuhan hidup.
Keluarga kami tetap mengiriminya uang meskipun kami sendiri kesusahan, dan sebagai balasan atas semua itu bisa-bisanya dia bersikap seperti ini. Tapi, bisa-bisa reputasi ayah akan menjadi buruk kalau sampai dia memutuskan hubungannya dengan wanita ini.
Jika sampai ayah mengusir Zola, keluarganya tidak akan tinggal diam──dan status keluarga kami akan terancam.
Karena itulah ayah tidak bisa menceraikannya.
Aku memeras otakku untuk memikirkan solusi atas dilema ini.
Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Aku memiliki pengetahuan tentang gim ini──pengetahuan tentang dunia ini.
Di usia ku yang kelima belas ini aku sudah lelah untuk terus hidup seperti ini, dan aku juga sebenarnya belum pernah mencoba melakukan hal yang macam-macam, tapi...bukankah sekarang saat yang tepat untuk memanfaatkan pengetahuanku akan gim ini?
Kalau aku tidak berusaha keras hanya jurang dalamlah yang akan menanti di depanku.
"...Jadi ini semua tidak akan jadi masalah kalau kita punya uang, kan?"
Zola tertawa terbahak-bahan mendengar perkatanku.
"Ohh, tingkahmu itu cukup berani juga untuk seorang yang hanya bisa menghabiskan uang."
Hehhh! Ngaca dulu.
Aku tidak mau dianggap sebagai anak yang cuma bisa menghabiskan uang, seorang parasit di keluarga yang hanya akan bersenang-senang di ibu kota.
"Menolah tawaran pernikahan saja sebenarnya sudah tidak sopan. Hentikan saja semua ini, kamu kira mencari uang untuk biaya akademi itu gampang?"
Ayah yang tidak mengerti ucapanku hanya mengangguk menyetujui perkataan Zola.
Namun, ayah juga sebenarnya tidak menolak sepenuhnya perkataanku.
"Leon, kamu ini masih muda. Jangan terlalu terburu-buru melakukan──"
"Diam! Pria kalau nanti berusia dua puluh tidak akan bisa mendapatkan pasangan! Bukannya berterima kasih karena sudah repot-report mencarikanmu pasangan, kamu malah terus-terusan mengeluh...karena inilah aku tidak suka pemuda desa sepertimu ini!"
Hei, kenapa yang disalahkan desanya?
Saat aku ingin mencoba membatah lagi, ayah langsung memotong perkataanku.
"Setidaknya pikirkanlah sedikit perasaan Leon. Sudah sewajarnya untuk pemuda sepertinya menolak menikahi wanita yang sudah tua. Beda umur Leon dengannya saja hampir empat puluh tahun."
Aku akan menjadi suami-bekas dari wanita yang padahal anaknya saja lebih tua dariku.
Wajar saja kalau aku membenci ini. Meski di dunia ini wanita lebih mendominasi, pembicaraan pernikahan ini, yang dia tentukan tanpa bertanyaku terlebih dahulu, sudah kelewatan.
Memikirkan nantinya aku akan menikahi wanita tua dan memiliki anak yang lebih tua dariku membuat bulu kudukku berdiri.
Ayah menghela nafasnya.
"...Kalau ada uang, tidak apa-apa untuk menolak pernikahan ini, kan?"
Zola duduk dengan sombongnya lalu menyilangkan kedua kaki dan menatap kami dengan pandangan yang merendahkan.
"Oh? Aku tidak tahu kalau kamu masih ada uang untuk hal seperti ini. Lebih baik kamu tambah saja uang bulananku dari pada memberikannya ke putra bodohmu ini."
Aku bukannya mau bilang kalau semua wanita di dunia ini sama. Tapi, melihat wanita ini membuatku ingin muntah.
Citra perempuan, terutama dari kalangan bangsawan, di dunia ini sangat-sangatlah busuk.
Ayah memegangi kepalanya.
Ayah menundukkan kepalanya dan mencoba mengatakan sesuatu yang nampaknya sangat sulit keluar dari tenggorokannya.
"Beri aku waktu. Akan ku temukan solusi untuk permasalahan ini."
Melihat ayah yang nampak putus ada dan melakukan hal yang tidak masuk akal demi aku ini, membuatku sedikit merasa bersalah.
Ini memang dunia yang sangat kejam.
Zola pun meninggalkan ruangan itu, menyisakan hanya aku dan ayah.
"Wanita itu repot-repot minta disiapkan kapal udara hanya untuk permasalah ini saja. Kita juga harus mengurusi tempat tinggalnya, memikirkan biaya atas semua ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Ayah, kenapa kamu mau menikahi Zola?"
Karena dia sebenarnya tinggal di ibu kota, kami harus repot-repot menyiapkan banyak hal ketika dia berkunjung kesini.
Biaya untuk kapal udara, tempat tinggal dan juga makanan. Bahkan biaya akomodasinya pun keluarga kami yang menanggung.
Ayahku ini memang tidak tegas.
Yah meski dia seperti itu bukannya tanpa alasan.
"Jangan marah. Pernikahan ayah dengannya memang perlu dilakukan. Dengan begitu kita akan diperlakukan selayaknya keluarga baron. Mau bagaimana lagi."
Ayah pasti merasa bersyukur karena istrinya itu sudah repot-repot ke pulau terpencil ini.
Sepertinya para putri bangsawan dari tempat yang jauh suka mencari suami dari kota yang ingin mereka tinggali.
Ada beberapa yang tidak seperti itu, tapi karenanya mereka harus bersaing satu sama lain.
Aku yakin pernikahan ayah dengan Zola juga karena alasan itu.
Karena itulah ayah menganggapnya sebagai pasangan yang penting. Kalau seorang baron tidak bisa mendapatkan pasangan dari keluarga yang terpandang, sama saja dengan menyatakan bahwa mereka tidak layak untuk dipanggil sebagai seorang baron. Mereka akan dianggap remeh oleh bangsawan lain, dan mungkin akan ada yang akan memulai peperangan dengan mereka.
Jika sudah seperti itu, akan sulit untuk membentuk hubungan dengan keluarga lainnya dan disaat yang bersamaan mereka tidak akan diperlakukan selayaknya keluarga baron lagi.
"Jadi, bagaimana ayah akan mendapatkan uangnya?"
Aku bertanya lagi pada ayah, tapi aku sudah bisa tahu jawabannya dari raut mukanya yang tidak enak.
"Sejujurnya, ini akan sulit. Keluarga kita saja sudah punya banyak hutang. Kalau lebih dari ini kita tidak akan bisa menanganinya lagi. Meski sudah tahu begitu, kenapa dia bisa tiba-tiba membicarakan tentang wawancara pernikahan ini?"
Ayah juga merasa penasaran akan hal itu.
"...Kenapa aku? Kenapa kakak yang usianya tidak beda jauh dariku tidak?"
Ayah memeringkan kepalanya mendengar perkataanku.
"Bahkan untuk Nicks, perbedaan usianya masihlah tetap jauh, tapi...ini memang aneh. Seolah-olah seperti dia tidak ingin kamu masuk ke akademi."
Aku sedang berbincang dengan ayah di dalam rumah, tapi aku penasaran apa di luar baik-baik saja.
Akan tetapi, kenyataannya jauh melebihi bayanganku.
⧫
Saat itu seminggu setelah kunjungan istri ayah──kebetulan aku sedang di gudang.
Aku mengambil senjata yang tersimpan disana.
Senjata itu milik orang tuaku, ayah pasti akan marah kalau aku menggunakannya tanpa izin. Tapi, tidak akan ada yang bisa menghentikanku saat ini.
Ada senapa model lama, jenis yang hanya bisa menampung lima peluru.
Ini adalah yang paling cocok, aku pun kemudian membongkarnya untuk memperbaiki beberapa bagian yang rusak.
Aku meletakkan pedang pajangan yang tadi kulihat ke atas meja dan memeriksa apakah bisa digunakan atau tidak. Aku juga mengumpulkan beberapa peralatan penting lainnya.
Ayah melihatku dengan tatapan gelisah.
"H-Hei, kamu mau apa?"
Saat aku membaca surat dari kakakku beberapa waktu yang lalu, aku memutuskan untuk menyelesaikan semua ini dengan tanganku sendiri.
Aku sudah memikirkan dengan cermat bagaimana menggunakan perngetahuan gimku untuk bisa menghasilkan uang, tapi aku baru sadar kalau berbuat tidak semudah berbicara.
"Aku harus bisa mendapatkan uang bagaimanapun caranya, jika tidak aku akan dijual ke wanita tua mesum! Aku tidak mau itu, ogah!"
Di belakang ayahku, ibuku nampak mulai mengeluarkan air mata.
Sepertinya aku akan dijual ke salah satu keluarga yang memiliki reputasi buruk.
Kalau tidak salah, ada yang namanya "hutan para wanita". Di hutan itu diadakan pertemuan yang dihadiri para wanita bangsawan tuda dan budak pria, yang karena mereka adalah budak, mereka disana diperlakukan dengan semena-mena, begitulah setidaknya apa yang aku dengar dari wanita tua itu.
Sepertinya perlakuan yang diterima seorang budak jauh lebih buruk dibanding pelayan sub-ras.
Mereka adalah orang-orang yang suka menyiksa dan memanfaatkan para pria.
Mereka memang busuk.
Terlebih lagi, ada rumor yang mengatakan kalau para wanita tua dari keluarga kelas atas berkumpul di sana, dan para pria yang sudah tidak berguna lagi akan dikirim ke medang perang. Mereka mungkin berpikir dari pada para pria tidak berguna itu mati disini, lebih baik mereka mati di medan perang.
Jahat sekali...apakah si wanita jalang Zola itu juga ikut terlibat?
Tapi aku tidak melihat dia sama sekali disana, tapi wanita itu sudah tega untuk mencoba mendapat keuntungan dengan menjual kami.
Orang waras pasti tidak akan mau terlibat dalam hal ini, bahkan wanita normal tidak akan segan-segan untuk menolak.
Ada sebuah alasan kenapa hanya aku dan bukan kakakku yang dikorbkan untuk pernikahan ini dan sekaligus alasan mengapa Zola mencoba untuk menghindari pembicaraan tentangku yang ingin masuk ke akademi. Mereka akan mengumpulkan para pria sepertiku yang tidak tahu apa-apa, lalu mereka akan melakukan apapun yang mereka inginkan. Seperti itulah hutan para wanita.
Mereka semua bekerja sama membuat rencana untuk para pria yang tidak masuk ke akademi, jadi sepertinya jika bisa masuk akademi mereka tidak akan berani menyentuhku. Dan karena itulah, Zola buru-buru mencoba menikahkanku dengan wanita itu sebelum aku masuk ke akademi.
"Kenapa mob sepertiku harus repot-repot berurusan dengan mereka! Setidaknya biarkan aku hidup tenang di gunung atau di pedesaan."
Ibu merasa khawatir dengan perkataanku.
"Aku tidak paham apa yang Leon katakan."
"Aku juga. Mau apa dia bawa-bawa senjata seperti itu? Jangan-jangan dia mau pergi ke ibu kota? H-hentikan Leon!"
Melihatku yang sedang memperbaiki senjata, ayah nampak khawatir.
Aku memang ingin pergi ke ibu kota dan membuat keributan disana, tapi aku yang sekarang tidak akan bisa melakukan itu.
Meski aku jadi pergi ke ibu kota, aku akan segera ditangkap oleh para pelayan demi-human wanita tua itu yang memang sudah terlatih, jadi mendekati mereka tidaklah semudah itu.
"...Menjadi seorang petualang adalah cara terbaik untuk menghasilkan uang."
Ayah dan ibuku terheran-heran dan saling menatap mendengar perkataanku ini.
Di dunia ini, petualangang juga merupakan sebuah pekerjaan. Bisa dibilang ini adalah pekerjaan yang diakui oleh banyak orang.
Kalau ditelusuri ke belakang, para bangsawan pasti memiliki leluhur yang juga seorang petualang.
Di setting gim ini, seseorang bisa mendapatkan gelar bangsawan dengan cara menemukan sebuah daerah yang belum berpenghuni. Para petualang yang mendapat banyak uang dari hasil petualangan mereka kemudian akan diangkat menjadi bangsawan.
Dan karena alasan yang terjadi karena setting gim inilah para bangsawan perlu menjadi seorang petulang saat mereka masuk ke akademi. Lalu mereka akan berusaha untuk menaklukan dungeon-dungeon yang tersebar di seluruh dunia.
Dengan cara seperti inilah sang karakter utama bisa menaikkan meteran cinta para pria, tapi dengan cari ini juga aku bisa mendapatkan uang.
Ayahku menggelengkan kepalanya.
"Hentikan saja. Percuma kalau kamu sendiri masuk ke dalam dungeon, lagian mendapat uang tidak akan bisa secepat itu."
Ibuku menunjukkan persetujuan atas pernyataan ayahku.
"B-Benar Leon. Lagipula tidak semudah itu menemukan pulang terapung di zaman sekarang. Kamu juga tidak akan bisa mendapatkan uang semudah itu."
Saat pulang terapung yang mana memiliki beragam sumber daya atau memungkinkan orang-orang untuk bermukin ditemukan, secara otomatis pulau itu akan menjadi milik si petulang. Dan bahkan jika mau, dia bisa mendeklariskan independensi atas wilayahnya itu, tapi...tidak ada lagi pulau yang seperti itu yang tersisa di sekitar benua yang aku tinggali ini.
Harusnya sih memang sudah tidak ada, tapi aku tahu masih ada satu.
"Maaf yah, bu, tapi aku sudah memutuskan untuk pergi."
Sebenarnya aku bisa saja dengan mudah kabur dari rumah, tapi adikku Colin masih berumur sembilan tahun. Dan aku tidak mau dia dijual ke para wanita tua mesum itu.
Melihatku yang seperti itu ayah merasa bersimpati, lalu berkata.
"Apa ada hal lain yang kamu perlukan?"
Tanpa ragu aku mengatakan pada ayah apa yang aku perlukan. Agak sedikit tidak wajar memang memaksakan ini pada ayah, tapi ini adalah momen penting yang akan menentukan hidup matiku.
Kalau aku hanya diam saja, aku hanya akan menjadi mainan dari para wanita tua itu. Mungkin saja dalam perjalananku ini aku akan kehilangan nyawa, tapi setidaknya aku mencoba melakukan sesuatu dari pada hanya berdiam diri saja.
"Hmm mungkin aku akan memerlukan sebuah kapal. Sebuah kapal udara. Lalu aku juga perlu beberapa peluru. Peluru yang dibuat khusus."
Ayahku memeringkan kepalanya.
"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan? Apakah kamu berencana masuk ke dungeon? Kalau memang seperti itu, kapal penumpang biasa seharusnya cukup."
"Kapal penumpang tidak akan bisa pergi kesana."
Aku menyatukan senapan di depanku kembali seperti semula.
Senapa memang agak aneh di dunia yang dipenuhi sihir dan ahli pedang ini, tapi ini juga merupakan dunia dimana kapal udara saling menyerang dengan menggunakan meriam. Jadi sebenarnya tidak aneh-aneh banget.
Ketika aku menarik pelatuknya, terdengar suara klik. Nampaknya senapan ini masih bisa digunakan.
Sampai sekarang aku masih bisa bertahan hidup di sini setelah direinkarnasikan. Karena aku puas dengan hidupku selama ini, aku tidak pernah melakukan apa-apa.
Namun, terkadang seorang mob pun harus mengorbankan sesuatu.
Aku menolak hidup hanya sebagai mainan para wanita tua.
Karena inilah aku harus bertarung.
Akan kutunjukkan pada mereka semua tekad dari seorang mob.
"Baiklah. Akan ayah persiapakan semuanya secepat mungkin. Tapi ingat, kamu harus kembali dengan selamat. Kalau kamu tidak bisa menjanjikan itu pada kami, maka ayah harus menolak permintaanmu.
Aku memang berniat untuk kembali, tapi aku tau semuanya tidak akan berjalan dengan semulus itu.
Dan akupun terpaksa harus berbohong pada mereka.
"...Aku pasti akan kembali."
Aku ingin melindungi hidupku, hidup adikku, dan sekaligus memperdaya Zola. Suatu saat, akan kubalaskan dendamku pada wanita jalan yang sudah mencoba menjualku itu.
Dengan hati yang memendam perasaan yang sangat kuat, aku melanjutkan persiapanku.
⧫
"Ini pertama kalinya aku bekerja seniat ini."
Meski ini adalah dunia gim otome, tapi tetap saja ini dunia gim pada umumnya.
Tidak jarang aku berpikir untuk menggunakan pengetahuanku tentang gim untuk menjadi seorang yang hebat.
Tapi, semua motivasi itu perlahan menghilang seiring menjalani kehidupan sehari-hariku yang melelahkan.
Makan dengan biasa. Lalu kemudian berlatihan dengan ayah, lalu setelah itu pergi ke ladang.
Dan tanpa kusadari hari sudah malam, dan begitu tiba di rumah aku harus belajar.
Di dunia ini, baron yang berasal dari daerah terpencil dan terisolasi memanglah miskin.
Dan para baron ini memanglah jauh lebih miskin jika dibandingkan dengan para baron yang tinggal di kota di dataran utama, dan para baron yang memang sudah miskin ini jadi semakin miskin karena para wanita seperti Zola.
Kenaikan kelas──gara-gara hal ini banyak keluarga baron yang mengeluh. Mereka mengeluh karena merasa hidup mereka jauh lebih makmur saat mereka masihlah seorang semi-baron.
Tidak semua baron itu miskin, ada juga beberapa yang kaya. Dan bahkan ada yang terbilang sangat-sangat kaya, dan bahkan jauh lebih kaya dibandingkan para leluhur mereka.
Dan terkait kondisi keluarga kami, jika saja keluarga kami masih semi-baron, maka uang yang harus kami bayarkan kepada kerajaan sebagai kontribusi tidak sebesar sekarang, dan terlebih lagi kami tidak akan perlu repot-repot berurusan dengan para wanita kelas atas seperti Zola. Jika saja seperti itu, maka keluarga kami tidak akan seterpuruk sekarang.
...Hidup keluarga kami sangatlah damai saat kami masih semi-baron.
Bergerak ke arah tepi pulau terapung, aku menyiapkan senapan kokangku dan membidik ke arah makhluk aneh mirip ikan di depan.
Keberadaan monster di dunia ini adalah sebagai makhluk jahat yang akan membuat kekacauan. Dan tentu saja ini juga dikarenakan setting dari gim otome itu. Karena mereka pada dasarnya jahat, aku tidak merasa bersalah saat membunuh mereka, malahan ada perasaan lega saat melakukannya.
Dan terlebih lagi mereka akan segera menghilang setelah mati.
Monster memang lebih baik dibasmi, jika tidak mereka akan berbuat kekacauan, dan bahkan jika sampai bertemu dengan manusia mereka akan mencoba menyerangnya.
Akan tetapi, hal yang didapatkan dari membunuh para monster adalah suatu yang tak kasat mata, yaitu exp (Expereince Point=poin pengalaman) layaknya di gim.
"Sial! Dia masih bisa menghindar!"
Aku segera mengisi ulang senapanku dan sekali lagi membidik ke arah monster ikan itu denga hati-hati.
Monster itu segera menyadari apa yang terjadi dan berbalik arah menuju ke arahku.
Ukurannya kurang lebih satu meter.
Pada keadaan normal,. target yang mendekati seorang pengguna senapan adalah suatu yang menguntungkan bagi si pengguna senapan. Tapi jika target ini bisa menghindar, maka pertarungan jarak dekat pun tak terelakkan. Dan jika ini terjadi bisa saja si pengguna senapa akan mati oleh si monster. Monster memanglah lawan yang merepotkan jika masih hidup.
Aku bisa bertarung melawannya karena aku memiliki senapan ini.
Tapi, peluru bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan secara cuma-cuma.
Maka dari itu aku tidak mau buang-buang peluru untuk monster ikan ini.
Monster ikan ini menuju ke arahku sambil membuka mulutnya yang dipenuhi taring tajam dan menakutkan.
"Kalau begini saja aku tidak bisa, maka lebih baik aku mati saja."
Sampai sekarang, aku kerap berpikir bagaimana caranya mendapatkan pengalaman berharga. Aku akan menjadi seorang petualang, lalu menemukan pulau dan menjelajahinya. Lalu aku akan menghasilkan banyak uang──Benar, "suatu hari nanti" pasti akan kulakukan.
Aku kerapa memikirkan hal tersebut tapi tidak pernah benar-benar mencoba melakukannya sampai sekarang.
Akan tetapi, dengan kondisiku sekarang yang sedang terjepit dan tidak memiliki banyak waktu lagi, mau tidam mau aku harus melakukannya.
Dan seketika aku pun menarik pelatuk senapanku, peluru melesat melalui selongsong senapan dan tepat mengenai bagian mulut si monster. Peluru itu kemudian menembus sampai bagian belakang tubuh si monster.
Monster yang kehilangan tenaganya ini pun kemudian jatuh sebelum berhasil menyerangku.
Monster yang terjatuh itu pun kemudian perlahan ditelan asap hitam dan kemudian hilang tak berbekas sebelum jatuh ke laut.
Aku melihat ke arah tangan kiriku, tapi aku tidak merasakan sensasi apa-apa. Yah mungkin gim dan kenyataan memang berebeda.
Akan tetapi, meski aku tidak bisa mendapat exp bukan berarti aku harus berhenti begitu saja. Setidaknya dengan begini aku bisa mengasah kemampuan menembakku.
Bukan hanya senapan, seandainya aku tidak memiliki kapal yang bisa terbang di udara dan tidak tahu cara mengendarainya, aku tidak akan pernah bisa sampai di tempat tujuanku.
Bayanganku dulu ketika aku berpikir untuk menjadi seorang petualang adalah bisa mendapatkan item kelas-cheat, atau setidaknya seperti itulah mereka di sebut di dalam gim. Di antara berbagai item berbayar, jika saja aku bisa mendapatkan benda itu, maka segela sesuatunya pasti akan berjalan dengan lancar.
Aku juga sudah memikirkan kemungkinan jika benda itu tidak ada disini.
Sebenarnya, benda itu adalah sebuah item yang merupakan sebuah harta karun yang harusnya nanti akan didapatkan oleh si karakter utama, akan tetapi sekarang hidupku bergantung pada benda itu.
Mungkin saja ini akan merugikan si karakter utama, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak punya pilihan lain.
Aku memegangi senapan dengan kedua tanganku.
"Demi kebahagianku sendiri terpaksa aku harus mengorban si karakter utama. Tidak apa-apa. Kalau tidak salah, aku dan si protagonis seumuran. Jadi pasti aku akan balas budi padanya suatu hari nanti."
Aku merasa sedikit bersalah, tapi rasa bersalah ini tidak cukup menghentikan tekadku yang tidak ingin dijual ke para wanita tua mesum itu.
Jika tidak aku akan kehilangan kesucianku.
"Apakah para wanita yang dijual ke para pria tua mesum juga merasa hal sama sepertiku ini? Sialan! Dunia ini memang busuk!"
Waktuku hanya tinggal sedikit.
"Harusnya aku melakukan ini dari dulu."
Akupun lanjut mencari monster sembari terus menyesali kebodohanku.
Satu bulan kemudian.
Aku tidak menyangkan kapal kecil ini ternyata kokoh juga.
Ada baling-baling terhubung dengan bagian mesinnya, dan juga kapal ini mudah unutk dikendarai.
Aku sedang di atas kapal.
Aku mengenakan jubah yang disertai dengan penutup kepala unutk menghindari teriknya sinar matahari. Air, makanan dan beberapa senjata juga tersimpan di kapal ini.
Seharusnya ini cukup untuk satu orang untuk bisa makan dan minum sampai kenyang.
"Sepertinya permintaanku pada ayah terlalu berlebihan."
Ayah tidak hanya menyiapkan kapal untukku, melainkan pedang dan juga senapan serta banyak hal lainnya.
Rasanya beterima kasih saja tidak akan cukup untuk membalas kebaikan orang tuaku ini.
Mungkin aku terlalu berlebihan meminta mereka menyiapkan semua ini.
Sampai-sampai kapalku ini terlihat seperti tumpukan barang yang ditempeli mesin berbaling-baling. Meski begitu, menyiapkan barang sebanyak ini pasti tidaklah murah, apalagi untuk ukuran seorang bangsawan miskin.
"Dunia fantasi macam apa yang punya listrik dan bensin?"
Duduk sambil memegang erat senapanku, dan dengan tangan yang satunya aku melihat keadaan sekitar dengan menggunakan teropong.
Aku membawa peta dan juga kompas.
"Hal-hal seperti ini baru namanya dunia fantasi."
Kompasnya akan menunjukkan ke satu arah dan kearah mana aku harus pergi. Ada dua macam jarum di kompas ini, jarum yang hanya menunjuk ke satu arah, dan satunya lagi adalah jarum yang mengarah langsung ke tujuan yang diinginkan si pengguna kompas.
Kompas dengan dua jarum terhitung langka di dunia ini.
Dengan hanya menekan tombol-tombol angka untuk menetapkan suatu lokasi, ini sebenarnya adalah alat yang sangat praktis sebagai penunjuk arah.
Karena sudah sepuluh tahun lebih, ingatanku tentang gim dan berbagai hal penting seperti lokasi harta karun perlahan mulai memudar, tapi dulu saat aku mendapatkan kembali ingatanku, aku segera menuliskannya koordinat lokasinya. Kamu memang hebat aku yang dulu!
Dulu saat aku mendapatkan kembali ingatanku, aku cuma berpikir untuk bersenang-senang dengan menggunakan pengetahuanku tentang gim sebagai cheat, tapi pada akhirnya aku tidak pernah mencobanya karena aku terlalu sibuk dengan kehidupan sehari-hariku.
"Andai saja aku melakukannya sejak dulu, keadaanku tidak akan semengenaskan ini."
Manusia memang makhluk yang terlalu banyak berucap tapi sedikit bertindak. Yah mau bagaimana lagi, memang seperti itulah sifatku. Sudah berkali-kali aku mengeluhkan tentang hal ini dalam pikiranku, mengeluh karena ketidakberanianku untuk bertindak.
Aku terus bermalas-malasan setiap harinya sampai pada akhirnya aku terdesak seperti sekarang ini.
Hidupku sekarang sebenarnya memang lebih susah dibanding kehidupanku yang dulu.
Aku harus bangun pagi-pagi, lalu belajar saat malam hari...dan pekerjaan di ladang juga sangat berat. Jadi wajar saja aku langsung tidur setelah lelah beraktivitas seharian.
Aku merasa lelah setiap hari. Aku sampai tidak punya tenaga lagi untuk melatih tubuhku, dan lagi aku tidak punya pengetahuan yang luas maupun kemampuan khusus. Direinkarnasikan dengan kemampuan cheat? Jika saja itu benar terjadi, aku tidak akan melalui semua ini.
Menggunakan pengetahuan dari hidupku yang dulu sebagai cheat? Aku tidaklah sepintar itu, dan meskipun aku punya pengetahuannya aku tetap tidak tahu cara mengaplikasannya di dunia ini.
Sesekali muncul beberapa batuan melayang melintas di sekitarku.
"Langit dan lautan biru sepanjang mata memandang...di hiasi gumpalan awan putih, aku sudah muak melihat ini sedari tadi. Apa tidak ada hal lain yang bisa dilihat?"
Sembari mengambil senapan di dekatku, aku mencoba agar tidak menjadi gila karena semua ini.
Aku yang dulu pernah mati sekali di duniaku yang dulu, berpikir apakah jika aku mengakhiri hidupku dengan senapan di tangaku ini, akankah setelahnya aku bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik──tapi aku lekas menggelangkan kepalaku.
"Meski aku mati, itu tidak akan menyelesaikan masalahku. Jika aku mati, pasti Colin yang akan dijual ke para wanita tua mesum itu."
Aku pun lalu membuang jauh-jauh pikiran itu dan segera menegakkan kepalaku.
Matahari sedang bersinar dengan terang.
Aku sudah berkali-kali berpikir untuk kabur saja dari semua permasalahan ini.
Tapi, dunia jauh lebih berbahaya dibandingkan Jepang.
Dengan banyaknya monster dan pencuri yang berkeliaran, aku tidak akan bisa hidup dengan tenang.
Dan bahkan saat ini saja, aku berlayar sendirian tanpa membawa uang yang cukup. Aku rindu Jepang.
Aku muak dengan semua ini.
"Dunia ini terlalu kejam untuk mob sepertiku."
Aku terus bicara sendiri seperti orang gila, tapi bodo amatlah.
Kalau sampai aku bertemu dengan perompak angkasa, maka tamat sudah riwayatku.
Dengan dipenuhi pikiran seperti itu, aku menjadi awas terhadap sekitarku, dan tiba-tiba angin bertiup dengan kencangnya. Peta yang tertiup angin menimbulkan suara seperti kepakan burung.
Aku sengaja menaruh kompas di atasnya agar petanya tidak terbang tertiup angin, tapi jarum yang harusnya menunjuk ke arah tujuanku malah berputar-putar tidak jelas.
"Apa?"
Saat aku mencoba berdiri, angin berhembus makin kencang sampai-sampai aku harus berpegangan agar tidak terjatuh. Aku berpegangan semakin erat sembari memeriksa keadaan sekitar, tapi yang ada hanyalah lautan yang tenang.
Awan-awan juga bergerak seperti biasanya.
Tidak ada tanda-tanda akan badai juga.
Kapalku pun mulai melaju, lalu tiba-tiba langit menjadi gelap.
"──Apa itu di atas?"
Aku mendongakkan kepalaku, lalu nampak sebuah awan putih.
Awan putih yang sangat besar.
Aku melihat awan itu dan mengepalkan kedua tanganku dengan erat.
Ada sesuatu di bawah kapal.
Aku menatap lautan di bawah, lautan itu sebagaiannya berwarna hijau berkilau.
Aku jatuh sampai terduduk, lalu aku memukul dahiku sembari tersenyum.
"Benar sekali, ini dia──aku berhasil menemukannya! Apakah ini karena micro-tansaction? Atau mungkin memang sudah ada disini sedari awal? Ah itu tidak penting...Akhirnya. Akhirnya aku mendapatkan durian runtuh!"
Aku bangun dan merentangkan tangan dan kakiku lebar-lebar, lalu aku melihat ke langit. Air mataku tanpa sadar menetes.
Aku sangar bersyukur benda itu ternyata benar-benar ada.
Aku selalu berharap kalo benda itu ada. Aku sebenarnya kemari untuk memastikan keberadaannya tanpa terlalu banyak berharap, tapi──aku benar-benar sedang beruntung.
"Eh iya, kan aku kan belum berhasil mendapatkannya."
Aku menenangkan diriku yang sedang senang-senangnya, lalu aku ke bagian buritan kapal dan mulai menyalakan mesin kapal kecilku.
Aku mendekatkan kapal ke arah laut. Kapalku terus melaju ke tempat yang memancarkan cahaya yang menyilaukan mata. Kapalku mulai beguncang dan mengeluarkan suara berderit.
Aku membungkukan tubuhku dan berpegangan pada tepian kapal.
"Kumohan, bisalah."
Meskipun aku tidak sedang mengemudikannya, kapalku mulai bergerak ke atas dengan cepat. Goncangan yang timbul membuatku susah berdiri. Aku hanya bisa mencoba gocangan ini dengan bertumpu pada lututku.
Kapalku mulai tertelan oleh awan besar, dan hanya awan putih yang bisa aku lihat di sekelilingku.
Tubuhku terasas dingin.
Pakaian basah kuyup.
Aku mencoba menjaga senapanku dengan menyembunyikannya di balik jubahku, aku mulai mengemduikan kapalku lagi tanpa bisa melihat apapun di kumpulan awal yang tebal ini.
Nampak ada seusatu yang sangat besar masuk ke dalam awan, aku pun mengarahkan kapalku ke arah yang berlawanan dengannya.
Aku begerak mendekat benda besar itu sembari tidak bisa melihat apapun, tapi rasanya aku seperti begerak melawan sebuah arus yang deras. Yah sebenarnya aku tidak pernah merasakan bagaimana arus deras sih, latu tiba-tiba angin kencang mulai bertiup.
Mesin kapalku nampak bekerja sangat keras sampai-sampai menimbulkan suara yang aneh. Tapi suara mesin kapalku tertutupi kerasnya suara hembusan angin meski jarakku dan mesin kapal sangat dekat.
Kedua jarum di kompasku mulai berputar tak beraturan, ah dasar kompas tidak berguna, dan parahnya lagi aku tidak aku sekarang aku ada dimana.
Tapi aku tidak punya pilihan selain bergerak melawan aliran arus ini, dan tanpa kusadari ternyata tubuku sudah basah kuyup. Lumayan dingin juga ternyata.
Pakaianku yang basah kuyup ini mulai terasa berat.
Kapalku entah bagaimana bergerak melawan arah arus deras ini, tapi aku jadi merasa khawatir. Aku benar menantang badai sendirian, sendirian...
"Aku mohon! Tolong dengan amat sangat, setidaknya sekali ini saja──!
Beberapa menit telah berlalu, atau mungkin beberapa jam?
Dengan inderaku yang juga masih terasa kabur, mesin kapalku mulai mengeluarkan api.
"Tunggu!Setidaknya sebentar saja! Jika terus seperti ini, aku akan──!
Tiba-tiba, muncul pemikiran yang tidak-tidak dalam benakku. Tak lama kemudian, mesin kapalku meledak sampai baling-balingnya copot dan terlempar ke atas.
Kapalku mulai bergetar hebat bergerak menembus awan, lalu tiba-tiba saja kapalku terlempar──didepanku nampak sebuah pulang terapung yang ditutupi oleh awan.
Aku sangat bersyukur masih bisa keluar hidup-hidup dari awan besar ini. Mataku lalu terbelalak melihat pulau terapung di depanku. Sudah berkali-kali aku melihatnya dalam gim, tapi melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri sungguh suatu pengalaman yang luar biasa.
Pulau itu nampak berwarna hijau karena ditumbuhi banyak tanaman dan juga dipenuhi akar-akar pohon yang sangat besar.
Banyak tanaman serta akar yang mencuat dari permukaan tanahnya.
"──Luar biasa."
Aku perlahan mulai mendekat ke pulau. Sebenarnya sih kapalku yang mulai mendekat.
Aku mulai dengan panik mengendalikan kapalku, tapi aku tidak bisa mengendalikannya kerena mesinnya yang sudah meledak sedari tadi. Aku menjadi bertambah panik karena mesinku mulai mengeluarkan api.
"Astaga naga!"
Pulau terapung sudah semakin dekat, dan aku pun berpegangan pada barang bawaanku sambil bersiap-siap untuk melompat dari kapal.
Dengan meninggal barang bawaanku di kapal, aku pun melompat dan dan mendarat di tanah. Pendaratanku tidak mulus, aku terguling-guling di tanah sampai kemudian aku menabrak sebuah pohon.
Kapalku menabrak tanah lalu hancur berkeping-keping, sementara barang bawaanku terlempar berhamburan.
Aku mencoba bangun dengan tubuhku yang merasa kesakitan gara-gara menabrak pohon tadi, lalu aku menyeka keringat dingin di tubuhku.
"Sialan, tadi hampir saja. Kemari dengan menggunakan kapal memang terlalu berisiko."
Kalau saja aku menggunakan kapal yang lebih besar pasti akan lebih mudah, tapi kami tidak punya cukup uang untuk membeli kapal besar. Jangankan untuk membeli kapal besar, hutang kami saja belum lunas.
"Tapi untunglah aku berhasil tiba dengan selamat disini."
Pandanganku masih terasa sedikit kabur. Aku segera mengambil barang-barang bawaanku yang penting-penting sembari memegangi kepalaku yang sakit.
Beberapa barang bawaanku terbakar, entah aku bisa bertahan atau tidak dengan barang-barang yang masih tersisa.
Aku mulai mengumpulkan barang-barang bawanku di satu tempat dan mengambil kayu dari sisa-sisa kapalku yang sudah rusak.
Aku berhasil selamat sampai tujuan, tapi aku tidak punya kapal lagi.
Kalau begini sama saja aku artinya terjebak di pulau ini.
Tapi kalau aku bisa mendapatkan "itu" yang sedar tertidur di pulai ini, maka aku bisa dengan mudah kembali, tapi kalau sampai tidak ada maka selesai sudah.
Aku duduk sembari beristirahat, sepertinya sudah cukup lama waktu berlalu.
Langit mulai gelap.
Aku mengambil makanan dan air dari barang bawaanku.
Aku memakan sesuatu yang mirip seperti biskuit, dan lalu membasahi tenggoranku yang kering ini dengan air.
Aku memang sengaja hanya membawa makanan yang bisa mengenyangkan.
"Kalau sudah sampai sejauh ini dan aku tidak berhasil menemukan apa-apa, rasanya aku ingin jadi orang gila saja."
Aku akan sibuk mulai sekarang.
Aku menyalakan api unggun dari kayu sisa-sisa bangkai kapalku untuk menghangatkan badan.
Aku memeriksa kondisi senapan dan juga barang-barangku yang lain.
"Sepertinya semuanya aman. Setidaknya barang-barang yang ini tidak apa-apa."
Diterangi cahaya dari api unggun, aku mulai menghitung peluruku dan mulai mengisinya ke dalam senapan.
Peluru-peluru ini adalah peluru yang dibuat khusus. Sebuah gambar petir terukir di permukaannya yang menandakan kalau perluru ini berbeda dari peluru normal.
Kalau di konversikan ke yen, harga perluru normal berkisar 3000-5000 yen.
Perluruku ini peluru khusus──peluru ajaib yang bisa memberikan efek sihir saat digunakan. Peluru ini akan mengeluarkan ledakan api ketika mengenai sasaran, selain itu juga memiliki efek pembekuan dan masih banyak lagi.
Karena itulah biaya untuk sekali menembakkan peluru ini saja bisa sampai dengan 10.000 yen.
Aku merasa sangat beryukur karena orang tuaku bisa menyiapkan banyak peluru khusus untukku.
"Kalau aku berhasil kembali dengan selamat, seperti aku harus membalas semua kebaikan orang tuaku... Kalau dipikir-pikir, aku juga tidak pernah membalas budi pada orang tuaku saat aku masih hidup di Jepang."
Kalau dipikir-pikir kembali bagaimana duniaku yang dulu aku mati lebih dulu dibandingkan kedua orangtuaku, itu membuatku terlihat seperti anak yang durhaka.
"Apa yang terjadi pada adikku ya? Aku akan merasa sangat bahagia jika dia berada disini, meski aku akhirnya aku akan dihina-hina olehnya."
Aku masih ingat saat aku pertama kali terbangun ke dunia ini, atau mungkin lebih tepatnya, saat aku mendapatkan ingatanku tentang kehidupanku yang dulu. Aku merasa rindu memainkan gim otome untuk adikku.
Karena berkat itulah, aku bisa memanfaatkan pengetahuanku tentang gim di dunia ini, jadi mungkin haurskah aku harus berterima kasih padanya?
Kalau saat itu adikku tidak memaksaku memainkan gim otomenya, aku rasa aku pasti sudah mati sejak dulu.
Apakah ada yang hilang?
Selesai memeriksa senapan dan peluru-peluruku, aku lalu menaruhnya disampingku yang sedang merebahkan tubuh di samping akar pohon besar.
Ini adalah pertama kalinya bisa merbahkan tubuh di tanah setelah cukup lama hanya berbaring di kapal kecilku.
"...Kenapa aku reinkarnasikan ke dunia gim otome ini? Biasanya, orang-orang akan direinkarnasikan ke dunia fantasi dengan sihir dan ahli pedang seperti di novel-novel. Sebentar-sebentar, Jepang jauh lebih baik. Benar, akan lebih baik jika aku bisa kembali ke Jepang."
Kalau dipikir-pikir, aku masih cukup beruntung bisa hidup di Jepang dimana tidak ada monster dan perompak angkasa yang setiap saat bisa mengancam hidupku.
Dengan dipenuhi pikiran akan dunia lamaku, aku pun perlahan memejamkan kedua mataku.
"...Besok....aku harus bekerja keras..."
Pertaruhan terbesar di hidupku sudah menunggu.
![]() |
0 Komentar